LEKASAN PARI DI DESA
MENJANGAN, SUBAH, BATANG
(SEBUAH TRADISI MENJELANG PANEN PADI)
LAPORAN PENELITIAN
Disusun Guna MemenuhiTugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
DosenPengampu : M. Rikza Chamami, M.S.I.
Disusun oleh :
Lailina Zulfa (123411059)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pulau
Jawa sebagai pulau paling padat penduduknya di Indonesia menjadi salah satu
sentra penghasil padi. Di tengah masyarakat Jawa, padi merupakan makanan simbol
kemakmuran pada masanya. Hal itu karena pada zaman dahulu nasi beras hanya
dikonsumsi oleh kaum bangsawan. Ada pun rakyat jelata mengkonsumsi nasi yang
terbuat dari jagung, ketela pohon, dan sebagainya.
Seiring perkembangan zaman, nasi tak lagi
menjadi barang istimewa. Kini sebagian besar petani menanam padi. Semua orang
bisa menikmati beras dengan ragam kualitas dan jenisnya.
Di
salah satu daerah di Jawa Tengah, tepatnya di Desa Menjangan, Subah, Batang,
terdapat tradisi unik yang mana menjelang panen padi, para petani melakukan
ritual Lekasan Pari. Hal itu dilakukan sebagai wujud syukur kepada Yang
Maha Kuasa atas limpahan rizki-Nya. Maka dari itu, dalam tulisan ini akan
dimuat sedikit ulasan mengenai tradisi Lekasan Pari tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan tradisi Lekasan Pari?
2.
Bagaimana
pelaksanaan ritual tradisi Lekasan Pari?
3.
Bagaimana
interelasi nilai kebudayaan Jawa-Islam dalam tradisi Lekasan Pari?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk
mengetahui definisi tentang tradisi Lekasan Pari?
2.
Untuk
mengetahui pelaksanaan ritual tradisi Lekasan Pari?
3.
Untuk
mengetahui interelasi nilai kebudayaan Jawa-Islam dalam tradisi Lekasan Pari?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Untuk
mendukung pembuatan laporan penelitian ini, maka perlu dikemukakan hal-hal atau
teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan dan ruang lingkup pembahasan
sebagai landasan dalam pembuatan laporan ini.
Definisi Tradisi
Lekasan Pari
1.
Tradisi
Secara etimologi istilah tradisi berasal dari bahasa Latin “traditio”
yang berarti diteruskan atau “traditium” yang berarti warisan dari masa
lalu[1].
Ada pun secara terminologi, tradisi
merupakan adat kebiaaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan
di masyarakat.
2.
Lekasan Pari
Istilah
“lekasan” dalam bahasa Jawa berasal dari kata “lekas”. Lekas
berarti mulai. Ada pun ketikan mendapat akhiran –an, artinya adalah sedang
memulai. Ada pun “Pari” merupakan istilah yang beraal dari bahasa Jawa
yang berarti padi. [2] Maka bisa disimpulkan
bahwa “lekasan pari” adalah saat dimana padi telah mulai (lekas),
maksudnya mulai menguning, berumur, dan sudah bisa mulai untuk dipanen.
Merujuk
pada pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Tradisi
Lekasan Pari adalah Sebuah adat kebiasaan yang telah dilaksanakan secara
turun temurun dari nenek moyang untuk petani melakukan beberapa ritual sebagai
tanda syukur kepada yang Maha Kuasa atas limpahan rizki-Nya saat tanaman padi sudah
mulai menguning dan siap panen.
BAB III
KONDISI LAPANGAN (TRADISI KHAS)
A. Sesaji / Ubarampe dan Waktu Pelaksanaan Tradisi Lekasan Pari
1.
Sesaji
Sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya, dalam tradisi
lekasan pari, sesaji yang digunakan bermacam-macam bentuk dan fungsinya. Dalam
hal lekasan ini, sesaji / persembahan ditujukan kepada Dewi Sri (Dewi penjaga
padi) Adapun wujud sesaji antara lain :
a.
Nasi tumpeng
Nasi tumpeng ini berupa nasi putih yang dicampur gudhangan (campuran
sayur-sayuran yang direbus dan diurap). Sayur- sayurannya terdiri dari kacang
panjang, , kubis, dan tauge. Sedangkan bumbunya terdiri dari parutan kelapa
muda, cabai, bawang merah, bawang putih, garam, dan sedikit gula. Bumbu – bumbu
tersebut dihaluskan, dibungkus daun pisang kemudian dikukus. Setelah matang,
bumbu dicampurkan dengan sayur rebus tadi. Setelah itu, sayur dan nasi pun
dicampur merata kemudian dikukus. Setelah matang, nasi yang sudah tercampur
sayur pun dibentuk mengerucut menjadi tumpeng.
b.
Lauk
Lauk
terdiri dari ayam goreng yang dipotong tiap bagian anggota tubuhnya. Bagian
tubuh yang digunakan antara lain: kepala, dada, sayap, dan paha. Selain ayam
goreng, lauk lainnya adalah dua bua
h tempe goreng, dua buah tahu
goreng, dan dua buah ikan asin.
c.
Jadah (jajanan
khas Jawa)
Jadah merupakan makanan/jajanan yang biasa digunakan orang Jawa
dalam menyambut tamu. Jadah ini bisa berupa makanan ringan maupun aneka jajanan
basah. Bentuk dan jenisnya beragam..
Ada pun jadah yang digunakan sebagai sesaji adalah: gemblong (ketan
rebus yang ditumbuk kemudian diiris dalam bentuk belah ketupat), lepet (ketan
rebus yang dibungkus menggunakan daun bambu kemudian diikat menggunakan tali
yang terbuat dari bambu), ketupat ketan (sebagaimana ketupat pada umumnya,
namun terbuat dari ketan), cucur (makanan dari tepung beras yang ditumbuk
halus, dicampur gula jawa yang dicairkan kemudian digoreng berbentuk bulat),
serabi, krecek (rengginang), dll.
2.
Ubarampe/
perlengkapan
a.
Kemenyan
Kemenyan adalah hal terpenting yang harus tersedia. Kemenyan ini
nantinya digunakan untuk mengiringi panjatan doa kepada Dewi Sri sang penunggu
padi.
b.
Damen/oman
Damen atau yang disebut oman adalah pohon padi yang sudah tua
kemudian di ambil padinya dan dikeringkan. Damen ini diambil dari pohon yang
akan dipanen pada keesokan harinya.
c.
Ani-ani/welit
Ani-ani adalah alat
pemotong padi tradisional. Alat ini digunakan sebagai pelengkap yang menandakan
bahwa ini akan digunakan untuk memotong pohon padi.
d.
Keris
Keris yang dimaksud disini adalah yang
terbuat dari cabai merah panjang, bawang putih, dan bawang merah, jahe, dll.
Bahan – bahan tersebut disusun dan ditusuk menggunakan lidi sedemikian rupa
sehingga menyerupai keris.
B.
Ritual/Prosesi
pelaksanaan Tradisi lekasan pari
Dalam tradisi lekasan pari, prosesi yang dilakukan tidak boleh
dilakukan secara sembarangan. Ada etika yang telah diajarkan nenek moyang yang
harus diamalkan. Jika prosesi yang dilakukan salah, maka apa yang kita harapkan
dari panen bisa jadi tidak akan terkabul justrumenurut kepercayaan bisa
menimbulkan bala/musibah. Hal-hal yang harus dilakukan saat prosesi ritual
Lekasan pari adalah sebagai berikut:
1.
Waktu
pelaksanaan lekasan pari adalah sehari sebelum padi dipanen.
2.
Ubarampe yang
telah disiapkan dibawa ke sawah. Rombongan keluarga petani dan anak – anak
biasanya mendominasi dan ikut serta dalam lekasan pari. Biasanya dipilih tempat
dipinggir sawah/di pinggir batas sawah (Jawa : galengan) untuk dilakukan
ritual.
3.
Beberapa
tanaman padi dibuka untuk menempatkan ubarampe dan ada yang dijadikan satu. Pemilik
sawah duduk bersila atau lenggah kenduri. Di sini terdapat prosesi kenduri
dalam skala kecil.
4.
Setelah
selesai, pemilik sawah membakar damen dan kemenyan membentuk dupa, setelah itu dipanjatkan
doa atau mantra sambil mengelilingkan dupa tadi ke tiap sudut sawah yang
padinya akan dipanen tanpa terkecuali. Melalui penelusuran, ditemukan mantra
yang digunakan sebabagi berikut:
Amit pasang paliman tabik,
Ilo-ilo dino linepatno saking siku Gusti kang hakaryo bhawono
Danyang Sri Semara Bumi kang mbaureksi sabin … (nama sawah atau
desa)
Mbok Dewi Sri pepitu, Kang lumpuh gendongen, kang wuto tuntunen, kulo
aturi nglempak saklebeting sabin, ingak sampun kulo ancer-anceri sak pucuking
blarak.
Sak sampunipun nglempak, kulo caosi daharan ngabekti; sekul petak
gandha arum, gereh pethek sambel gepeng, untub-untub lan sak panunggalanipun.
Gandeng anggen kulo titip wiji gugut sewu, wonten ing tegal kabenteran sampun
wancinipun sepuh, badhe kulo boyong wonten soko domas bale kencono.
Kaki
markukuhan, Nyai markukuhan, kukuhana kang dadi rejekiku. Nyai pakeh lan kaki
Pakeh, akehono kang dadi rejekiku, yen ana kekurangane, tukuo neng pasar dieng,
lan seksenono ing dino … (nama hari) minggu legi punika.
5.
Setelah
selesai, pemilik sawah meninggalkan sesajen di sawah. Hal ini sebagai simbol
bahwa pemilik sawah telah ikhlas menyerahkan sesajen kepada Dewi Sri.
6.
Setelah petani
pemilik sawah tidak tampak lagi, sesajen boleh dimakan oleh siapa saja yang
melihatnya. Biasanya sesajen ini menjadi incaran anak-anak kecil yang memang
telah mengikuti pemilik sawah sebelumnya.
BAB
1V
ANALISA
LAPANGAN
A.
Pesan implisit Tradisi
Lekasan Pari bagi manusia masa kini
Sebagaimana diketahui bahwa lekasan pari adalah simbolisasi
ungkapan syukur petani kepada Yang Maha Kuasa. Ungkapan ini termanifstasi dalam
bentuk ritual yang mana ritual tersebut adalah warisan budaya leluhur. Seiring
perkembangan zaman, tradisi ini semakin jarang ditemui karena manusia modern
menginginkan hal yang serba instan dalam kehidupannya. Hal ini tentu saja
menjadi keprihatinan bersama. Nilai rasa budaya yang seyogianya dilestarikan
bersama justru mengalami dekadensi yang signifikan.
Maka dari itu, perlu kiranya memahami
pesan-pesan kebaikan yang terkandung dalam sebuah tradisi, khususnya tradisi
lekasan pari ini agar kita dan generasi yang akan datang kelak mampu belajar
makna kehidupan dari suatu kejadian sekitar. Ada pun
beberapa filosofi yang terkandung dalam tradisi lekasan pari antara lain:[3]
1.
Pelaksanaan lekasan
pari pada waktu sehari menjelang panen, menandakan bahwa dalam melakukan
segala sesuatu, manusia harus mempertimbangkan dengan matang, tidak melakukan
sesuatu secara mendadak.
2.
Adanya
sesajen berupa nasi yang dibentuk menjadi tumpeng / gunungan. Tumpeng bermakna tumekaning
penggayuh, yang artinya keinginan yang ingin diraih. Tumpeng berbentuk
kerucut / piramida, dengan puncak seperti gunung. Hal ini bermakna keinginan
yang memuncak/tinggi tadi yang harus diraih.
3.
Adanya
ritual kenduri. Kenduri diartikan kekendelan ingkang diudhari (keberanian
yang dibuka, disampaikan).
4.
Kemenyan yang
dibakar, tentunya dipandang sebagai rangkaian prosesi dalam lekasan itu. Dalam
menjalankan “ritual” ini harus bisa meluruskan niat bahwa membakar kemenyan
tidak ditujukan kepada arwah/ danyang yang mbaureks, akan tetapi
tetap kepada Tuhan.
5.
Sesajen yang
berjumlah dua, mengingatkan kita akan kekuasaan Tuhan. Bahwasannya Tuhan
menciptakan sesuatu secara berpasangan. Selain itu sesajen tersebut terdiri
dari makhluk hidup (hewan) dan mati (tumbuhan) dalam perspektif orang Jawa. Hal
ini menandakan bahwa manusia akan mengalami dua masa yakni hidup dan mati.
6.
Mengelilingi
sawah dari kiri ke kanan melambangkan manusia tentang dua sisi kehidupan. Bahwa
kiri (kejahatan) pasti akan dikhiri kanan (kebaikan)
7.
Pembagian
sesajen mengajarkan tentang arti bersosialisasi, dll.
B.
Interelasi
Tradisi Lekasan Pari dengan konsep ajaran Islam
Telah dipaparkan bahwa dalam tradisi lekasan pari, ditemukan
beberapa ritual yang sarat makna kebajikan dan kearifan. Apabila dikaji secara
mendalam, ternyata dalam tradisi lekasan pari mengandung banyak nilai
keislaman, a.l.:
“karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”
“Maka makanlah yang halal
lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah.”
3.
berdoa dalam
memulai segala sesuatu (Q.S. Al-Mu’min: 60)
“dan
Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”.
4.
sikap dermawan (Al-Baqarah: 274)
š
“orang-orang
yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
BAB V
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Tradisi lekasan pari pada dasarnya telah ada sejak zaman nenek
moyang. Tradisi ini berisi tentang
ritual yang dilaksanakan seorang petani menjelang panen tiba. Dalam ritualnya,
tradisi lekasan pari menggunakan beberapa ubarampe yang berupa sesaji dan
beberapa perlengkapan seperti kemenyan, ani-ani, dan damen.
Dalam tradisi lekasan pari terdapat pesan-pesan tersirat yang patut
di renungkan agar tradisi tersebut tidak hanya menjadi ritual tanpa makna.
Selain itu, salah satu penyebab dekadensi budaya pada masa kini adalah karena
manusia modern tidak memahami makna dari ritual tersebut sehingga enggan
melaksanakan.
Selain sarat makna filosofis, konsep tradisi lekasan pari pun
sesuai dengan ajaran Islam, antara lain: perilaku bersyukur, memakan makanan
halal, berdoa dalam memulai segala sesuatu, sikap dermawan, dll.
B.
Saran
Ritual yang mengandung banyak kebaikan tersebut tentunya tidak di
ciptakan secara semena-mena oleh para pendahulu kita. Oleh karenanya sebagai
generasi penerus mereka, seharusnya kita mampu menghargai dan melestarikan
dedikasi nenek moyang kita saat dahulu kala.
Kita adalah manusia yang hidup pada masa modern. Dimana modernisasi
dan westernisasi menjadi hal yang mutlak. Namun demikian, jangan sampai hal itu
menjadikan kita sebagai kacang yang lupa akan kulitnya. Maka yang harus
dilakukan adalah menumbuhkan semangat belajar agar jangan sampai menjadi
pribadi yang bias toleransi dan nilai budaya.
C.
Penutup
Demikianlah laporan ini dibuat.
Tentunya dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan. Maka tegur
siasah sangat diharapkan guna perbaikan pada penelitian selanjutnya.
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indinesia edisi ketiga (Jakarta:
Balai
Pustaka2005)
https://id.m.wiktionary.org/wiki/wikitionary:Kamus_bahasa_Indonesia_%E2%80%93_bahasa_J awa#L
diakses pada Sabtu, 21 Juni pukul 21.00 WIB
Wawancara
eksklusif peneliti dengan salah satu sesepuh Desa Menjangan, Bapak Mudiono.
LAMPIRAN
A.
Transkrip Hasil Wawancara
Kode : 01/1-W /4-III/
2008
Nama
Informan : Bapak Mugiono
Tanggal : 07 Juni 2015
Jam : 13.00-15-00
Disusun
Jam : 20.30-22.00
Tempat
Wawancara : Rumah Bapak Mudiono
Topik Wawancara :
Tradisi Lekasan Pari Desa Menjangan, Kecamatan Subah,
Kabupaten
Batang
No No.
|
MATERI WAWANCARA
|
|
1.
|
Peneliti
|
Apa yang dimaksud dengan tradisi lekasan Pari?
|
Informan
|
Lekasan berarti sedang mulai, jadi lekasan pari adalah doa-doa
yang khusus dilakukan saat akan mulai memanen padi
|
|
2.
|
Peneliti
|
Mengapa dinamakan lekasan pari?
|
Informan
|
Karena ritual ini melihat dari kondisi dan waktunya yang
dilakukan saat padi di sawah telah mulai menunjukkan tanda siap panen
|
|
3.
|
Peneliti
|
Bagaimana sejarah awal tradisi lekasan pari?
|
Informan
|
Lekasan Pari ini sudah ada sejak zaman nenek
moyang. Tradisi ini diajarkan oleh yang mbabat alas desa waktu itu, Mbah
Singo Joyo. Sekarang makam beliau masih ramai dikunjungi warga sekitar seni,
kan?.dahulu mbah Singojoyo dan penduduk desa adalah seorang petani. Namun
suatu hari, panen seluruh penduduk gagal. Maka dari itu penduduk percaya
bahwa gagalnya panen merupakan akibat dari kedurhakaan penduduk kepada Tuhan.
Maka dari itulah diadakan lekasan pari untuk menebus kesalahan mereka.
|
|
4.
|
Peneliti
|
Apa saja yang diperlukan dalam tradisi lekasan pari?
|
Informan
|
Beberapa ubarampe dan sesaji harus ada dalam ritual ini. Ada pun
ubarampenya berupa kemenyan, ani-ani, damen padi, dan keris yang dibuat dari
cabai merah, bawang merah, bawang putih, jahe, dll. Sedangkan sesajinya
berisi nasi tumpeng, lauk yang terdiri dari ayam goreng yang telah
dipotong-potong, dua tahu, dua tempe, dua ikan asing, masing-masing harus
digoreng.
|
|
5.
|
Peneliti
|
Adakah makna dari masing-masing ubarampe tersebut?
|
Informan
|
Tentu saja. Sebagai contoh Adanya sesajen berupa nasi yang
dibentuk menjadi tumpeng / gunungan. Tumpeng bermakna tumekaning penggayuh,
yang artinya keinginan yang ingin diraih. Tumpeng berbentuk kerucut /
piramida, dengan puncak seperti gunung. Hal ini bermakna keinginan yang
memuncak/tinggi tadi yang harus diraih.
Sesajen yang berjumlah dua, mengingatkan kita akan
kekuasaan Tuhan. Bahwasannya Tuhan menciptakan sesuatu secara berpasangan.
Selain itu sesajen tersebut terdiri dari makhluk hidup (hewan) dan mati
(tumbuhan) dalam perspektif orang Jawa. Hal ini menandakan bahwa manusia akan
mengalami dua masa yakni hidup dan mati.
|
|
6.
|
Peneliti
|
Bagaimana pelaksanaan ritual lekasan pari?
|
Informan
|
a.
Waktu
pelaksanaan lekasan pari adalah sehari sebelum padi dipanen.
b.
Ubarampe
yang telah disiapkan dibawa ke sawah. Rombongan keluarga petani dan anak –
anak biasanya mendominasi dan ikut serta dalam lekasan pari. Biasanya dipilih
tempat dipinggir sawah/di pinggir batas sawah (Jawa : galengan) untuk
dilakukan ritual.
c.
Beberapa
tanaman padi dibuka untuk menempatkan ubarampe dan ada yang dijadikan satu. Pemilik
sawah duduk bersila atau lenggah kenduri. Di sini terdapat prosesi kenduri
dalam skala kecil.
d.
Setelah
selesai, pemilik sawah membakar damen dan kemenyan membentuk dupa, setelah
itu dipanjatkan doa atau mantra sambil mengelilingkan dupa tadi ke tiap sudut
sawah yang padinya akan dipanen tanpa terkecuali.
e.
Setelah
selesai, pemilik sawah meninggalkan sesajen di sawah. Hal ini sebagai simbol
bahwa pemilik sawah telah ikhlas menyerahkan sesajen kepada Dewi Sri.
f.
Setelah
petani pemilik sawah tidak tampak lagi, sesajen boleh dimakan oleh siapa saja
yang melihatnya. Biasanya sesajen ini menjadi incaran anak-anak kecil yang
memang telah mengikuti pemilik sawah sebelumnya.
|
|
7.
|
Peneliti
|
Mengapa prosesi tersebut harus dilaksanakan oleh pemilik sawah?
|
Informan
|
Karena pemilik sawah lah yang telah mendapat karunia berupa padi
yang melimpah, yang jumlahnya berlipat-lipat lebih banyak dari benih yang
ditanam. Maka sudah sewajarnya ia bersyukur.
|
|
8.
|
Peneliti
|
Pembelajaran apa yang bisa kita ambil dari ritual tersebut?
|
Informan
|
Semua ritual tentunya memiliki filosofi hidup. Diantaranya
adalah
Pelaksanaan
lekasan pari pada waktu sehari menjelang panen, menandakan bahwa dalam
melakukan segala sesuatu, manusia harus mempertimbangkan dengan matang, tidak
melakukan sesuatu secara mendadak.
Kemenyan
yang dibakar, tentunya dipandang sebagai rangkaian prosesi dalam lekasan itu.
Dalam menjalankan “ritual” ini harus bisa meluruskan niat bahwa membakar
kemenyan tidak ditujukan kepada arwah/ danyang yang mbaureks, akan
tetapi tetap kepada Tuhan
Mengelilingi sawah dari kiri ke kanan melambangkan manusia
tentang dua sisi kehidupan. Bahwa kiri (kejahatan) pasti akan dikhiri kanan
(kebaikan)
Pembagian sesajen mengajarkan tentang arti bersosialisasi.
Adanya ritual kenduri. Kenduri diartikan kekendelan
ingkang diudhari (keberanian yang dibuka, disampaikan).
|
Dakarenakan pada saat penelitian
di lokasi penelitian belum musim panen, maka hanya di sediakan gambar ilustrasi
sebagai penggambaran prosesi lekasan pari.
C.
Biodata Peneliti
Nama :
Lailina Zulfa
TTL :
Batang, 16 Juni 1993
Alamat :
Desa Menjangan, RT 01/ RW III, Subah, Batang
No. HP :
087831111064
Riwayat Pendidikan :
- TK Merpati Menjangan (1999)
-
SDN Menjangan (2005)
-
MTs. Nurul Huda Limpung (2008)
-
MA Darul Amanah Sukorejo (2011)
Motto
Hidup : Barang
siapa berjalan pada jalannya, sampailah ia
[1]Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indinesia edisi
ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm.827.
[2] https://id.m.wiktionary.org/wiki/wikitionary:Kamus_bahasa_Indonesia_%E2%80%93_bahasa_Jawa#L
diakses pada Sabtu, 21 Juni pukul 21.00 WIB
[3] Wawancara eksklusif peneliti dengan salah satu sesepuh Desa
Menjangan, Bapak Mudiono.
Ini adalah salah satu contoh penelitian kecil
BalasHapus